SEMARANG- zonamerdeka.com- Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Majelis Hakim Sidang Perkara Permohonan Gugatan Uji Materiil Terhadap UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada yang diajukan Pemohon yakni Partai Buruh dan Partai Gelombang Rakyat (Gelora), yang memutuskan dan mengabulkan sebagian gugatan perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024. Bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tak memiliki keterwakilan kursi DPRD, dan tak lagi dikenakan syarat minimal 20 persen.
Atas putusan itu, Ketua Yuristen Legal Indonesia (YLI) Jawa Tengah, Doni Sahroni SH, MH menyebut, bahwa keputusan itu bisa menimbulkan kerancuan dalam tatanan perundang-undangan.
Doni menyatakan bahwa aturan mengenai syarat pencalonan kepala daerah, baik bupati, wali kota, maupun gubernur sudah diakomodir dalam undang-undang yang mengatur tentang calon independen.
Menurut Doni, keputusan MK yang lebih terperinci ini justru bisa membuka ruang bagi partai-partai yang tidak memiliki kursi di DPRD tingkat I maupun tingkat II untuk melakukan manuver politik. Dia mengkhawatirkan bahwa partai-partai kecil yang tidak berhasil menempatkan wakil-wakilnya di parlemen bisa memanfaatkan putusan ini untuk mengajukan calon-calon melalui cara-cara yang tidak sehat, yang diistilahkan sebagai "politik dagang sapi."
"Saya menilai ini akan menjadi politik dagang sapi yang akan dilakukan oleh partai-partai yang tidak memperoleh kursi di parlemen," tegas Doni, Kamis (22/8/24).
Sebab, lanjut Doni, keputusan MK ini berpotensi membuka celah bagi partai-partai yang tidak memiliki kursi di parlemen untuk berkoalisi dan mencalonkan kandidat-kandidat mereka. Menurutnya, hal ini justru memperburuk kondisi politik, karena semakin membuka peluang bagi politik transaksional dalam pemilihan kepala daerah.
Partai-partai ini bisa melakukan manuver politik untuk mencalonkan tokoh yang mereka anggap layak, meski tidak melalui jalur independen. Untuk itu ia mengingatkan masyarakat, agar tidak terjebak dalam politik yang mempermainkan calon-calon kepala daerah tanpa mempertimbangkan kualitas dan integritas.
"Keputusan MK itu sebetulnya sudah tertuang di dalam jalur perseorangan atau independen ketika seseorang ingin mencalonkan diri menjadi gubernur ataupun walikota," ujarnya.
Aktivis Jawa Tengah itu berpendapat, keputusan MK ini terlalu kebablasan, karena membuka ruang untuk partai yang tidak memiliki kursi di DPRD tingkat I atau pun DPRD tingkat II untuk bisa mendaftar kan calonnya.
"Lalu apa gunanya adakan pemilihan umum. Dan apa fungsi nya pendaftaran calon lewat jalur perseorangan / independen," ujar Ketua Yuristen Legal Indonesia (YLI) Jawa Tengah, Doni Sahroni, dengan nada penuh tanya.
Dikatakannya, putusan MK yang menetapkan syarat baru dalam pengajuan calon kepala daerah dan menganulir ketentuan mengenai threshold 20 persen, memberikan kesan positif bagi demokrasi di Indonesia. Namun, ia memperingatkan adanya sisi negatif dari keputusan tersebut.
Maka itu, pihaknya mengajak masyarakat, khususnya warga Indonesia, untuk bisa lebih kritis dan teliti lagi.
"Kalau menurut saya, secara implisit, keputusan MK ini seolah-olah membuka keran demokrasi untuk calon-calon yang ingin maju menjadi calon gubernur maupun wali kota. Kerannya terbuka sangat lebar," pungkas Doni.(*)